Kisah bersetting di Batavia, 1915….
Bwe Hoa, putri saudagar Tionghoa kaya bernama Tan Tiong Gie beruntung bisa mengenyam bangku sekolah karena sang ayah berpandangan moderat. Spt biasa ia pulang dan pergi diantar naik delman yg dikendarai oleh Pak Soleh, kusir setia yg sdh lama bekerja pd keluarga itu. Celakanya, setiap pulang sekolah ia selalu diganggu kawanan pemuda Bld dibawah pimpinan Jansen, putra Mayor Speelman, kepala opsir di Batavia. Satu hari terjadi malapetaka karena Jansen memaksa naik ke delman hingga terjadi pergumulan antara dia dgn gadis itu. Mendadak Soleh menggeprak kudanya dan Jansen jatuh ke jalan dgn kepala remuk.
Peristiwa tsb berakibat fatal. Soleh dituduh membunuh Jansen. Dia diajukan ke ‘landraad’ (Pengadilan Bld) dan dijatuhi hukuman 20 tahun di Penjara Glodok. Bwe Hoa merasa sedih dgn nasib yg dialami Pak Soleh. Apalagi ia sendiripun diberhentikan dari sekolah.
Hingga pd suatu hari, Syamsudin (Udin), putra Pak Soleh yg sejak kecil dititipkan di Pesantren milik Kyai Haji Asnawi di Banten, datang ke Batavia karena mendengar bhw ayahnya ditawan Bld. Bwe Hoa yg merupakan teman masa kecil Udin menyambut kedatangan pemuda itu dgn senang hati. Apalagi Bah Tiong Gie mengizinkan Udin menjadi kusir menggantikan posisi ayahnya shg Bwe Hoa bisa bersekolah lagi dgn diantar jemput oleh Udin. Seiring berjalannya waktu, hubungan diantara kedua sejoli berbeda etnis dan status sosial itu semakin akrab. Hal ini membuat Bi Nio, ibu tiri Bwe Hoa, menjadi tidak suka.
Seminggu sekali, Udin membesuk ayahnya di penjara. Ternyata di dlm penjara Pak Soleh banyak bertemu dgn murid2 KH Asnawi yg ditahan karena dianggap memberontak. Udinpun jadi penghubung utk menyampaikan pesan dari sang guru kepada murid2nya melalui Pak Soleh, dgn menggunakan bahasa sandi yg tdk dimengerti oleh pihak sipir penjara.
Suasana di dlm rumah tangga Bah Tiong Gie pun tidak kalah runyam. Bi Nio yg kesepian karena suaminya terlalu sibuk dgn bisnisnya, mulai tertarik dgn ketampanan Udin. Maka terjadilah rivalitas antara sang ibu dgn putri tirinya. Rupa2nya ketidak sukaan Bi Nio thdp hubungan Bwe Hoa dgn Udin bukan se-mata2 karena beda etnis dan status sosial, melainkan krn ia juga menginginkan Udin.
Sampai pada suatu siang, sepulang Udin menjemput Bwe Hoa dgn delmannya, KH Asnawi yg menyamar sbg pengemis diam2 menyelipkan sepucuk surat ke tangan pemuda itu. Ternyata ‘sandiwara’ itu mereka lakukan agar serdadu KNIL yg ber-jaga2 tak menaruh curiga. Sesampainya di rumah, Udin segera mempelajari isi surat tsb, yg pd intinya bhw malam ini ia ditugaskan meledakkan gudang mesiu yg terletak di dlm lingkungan tangsi serdadu KNIL, guna mengalihkan perhatian, krn laskar pendekar Banten dibawah akan menyerbu Penjara Glodok utk membebaskan Pak Soleh dan murid2 pesantren yg ditawan.
Malamnya, rencana Udin nyaris gagal akibat ulah sang Tante girang, Bi Nio, yg tampak sdh tak dpt menahan nafsunya shg nekad mendatangi kamar Udin. Untunglah kedatangan Bwe Hoa membuat si Ibu tiri jengah dan segera keluar meninggalkan kamar sang kusir. Setlh kedua ibu dan anak masuk ke kamar masing2, Udin cepat menyelinap keluar dan berbekal gambar denah lokasi yg terdpt dlm surat, ia dgn mudah dpt memasuki tangsi Bld tsb melewati gorong2 saluran pembuangan limbah.
Sementara itu, melihat kepergian Udin, Bwe Hoa yg merasa kuatir akan nasib sang kekasih, segera mengambil golok pemberian Pak Soleh, lalu pergi menyusulnya. Sedangkan Bi Nio yg ternyata adalah mata2 Bld segera melaporkan tingkah laku Udin yg mencurigakan itu kpd Scout Heyne, kepala opas di Batavia.
Udin berhasil memasang sumbu peledak di gudang mesiu shg bangunan tsb akan meledak tepat tengah malam. Namun opas Kumpeni yg mendpt laporan dari Bi Nio mencari Udin di segala penjuru kota termasuk di tangsi tsb. Untunglah Bwe Hoa datang menolong kekasihnya. Tepat di saat keduanya berhasil keluar dari tangsi, markas tentara KNIL itu. Tengah para serdadu kebingungan menghadapi serangan tiba2 di tangsi mereka, laskar Pendekar Banten menyerbu Penjara Glodok utk membebaskan kawan2 mereka yg ditahan disana, termasuk Pak Soleh.
Bwe Hoa memaksa ingin ikut Udin yg akan pergi bergabung dgn guru dan kawan2nya, namun ia juga tak tega meninggalkan ayahnya seorang diri di rumah bersama istrinya yg spt ‘musuh dlm selimut’ itu. Maka ia mengajak Udin pulang ke rumah dulu utk mohon izin kpd sang ayah utk ikut berjuang, sekaligus mohon restu utk hidup bersama Udin selamanya sbg pasangan suami istri.
Setibanya mereka berdua di rumah, para opas segera mengepung rumah Bah Tiong Gie krn mendapat laporan dari Bi Nio. Akibatnya mereka pun terjebak di dlm rumah mereka sendiri. Untunglah Tiong Gie berkorban nyawa utk putri dan calon menantunya itu. Ternyata Tiong Gie pun merupakan salah satu sisa laskar Tionghoa yg selamat ketika terjadi pembantaian dalam peristiwa Geger Pecinan bbrp thn yg lalu. Maka iapun bertempur habis2an dan sebelum meregang nyawa masih sempat merestui pernikahan Bwe Hoa dan Udin.